Sebuah Laboratorium

think-e, sebuah rumah belajar bahasa inggris untuk anak yang saya dirikan hampir 19 tahun lalu, menjadi seperti sebuah laboratorium idealisme saya tentang pendidikan dasar. 

Ketika awal mula berdiri, saya membuat kelas berdurasi satu jam yang banyak diisi dengan aktifitas seperti menyanyi, permainan penuh gerak, percobaan ilmiah sederhana atau hasta karya. Banyak orang tua menanyakan, “sebenarnya ini mau mengajar Bahasa Inggris atau main main sih? Kalau main main saja, di rumah juga bisa kan?” Saya tidak bergeming, toh anak anak sangat happy belajar di think-e dan semua kegiatan disampaikan dalam bahasa Inggris sehingga mereka tidak belajar secara “textbook“. Saya tidak ingin siswa siswi kami belajar bahasa Inggris dengan cara menghapal kosa kata dan belajar menuliskan ejaannya dengan sempurna. Saya ingin mereka belajar melalui kegiatan kegiatan yang menyenangkan bagi mereka. Terlebih, saya tidak yakin bahwa anak anak akan mampu menggunakan sebuah bahasa asing dengan cara menghapal kosa katanya.     

Selanjutnya saya membuat kelas tanpa setting meja kursi dan hanya maksimal 7 anak di dalam kelas dengan satu guru. Banyak orang kembali menanyakan, “kelas kok kosong, hanya pakai karpet, apa kurang modal ya? Kelas kok tidak meriah, gak “fun” gitu ya?” Kembali saya tidak bergeming. Saya yakin yang membuat meriah dan “fun” di kelas bukan meja kursi warna warni ataupun dinding penuh tempelan dekorasi. Saya percaya, yang menghidupkan sebuah kelas adalah “penghuni” kelas tersebut, yaitu siswa dan guru. Siswa siswi akan menggunakan setiap sudut dan sisi di kelas untuk bermain dan belajar, karena itu kami buat kelas “kosong” dan dekorasi hanya ditempatkan diluar ruangan kelas. Fokus perhatian kami adalah “siswa” bukan keindahan ruang kelas.      

Keyakinan saya akan efektifitas setting ruang kelas “kosong” ini bertambah setelah membaca buku “Teach Like Finland” oleh Timothy D. Walker yang diterbitkan pada tahun 2017, dimana ruang kelas di sekolah sekolah Finlandia, yang saat ini menjadi kiblat kesuksesan pendidikan juga dirancang sesederhana mungkin dengan tujuan untuk mengurangi distraksi. Ditambahkan pada halaman 33 buku tsb, “Sebagai guru, saya pikir kita kadang kadang bisa terlalu fokus pada tampilan dari suatu pembelajaran. Kita mungkin justru menghamburkan waktu akibat terobsesi pada dekorasi dan meminta siswa untuk menghias dinding kelas kita, padahal masih ada banyak aspek penting dalam mengajar yang harus dihadirkan”. (Teach Like Finland, hal 33).        

Perihal metode pengajaran yang kami lakukan di kelaspun awalnya menimbulkan pertanyaan, karena sejak tahun 2010 kami mulai menerapkan metode active learning di dalam kelas. Metode active learning ini mengajarkan siswa untuk berpikir kritis dengan cara memberikan pendapat, berdiskusi, memberikan solusi dan memaparkan ide ide mereka atas materi yang sedang diajarkan. Sejak awal metode ini diterapkan di kelas, bahkan sampai dengan saat ini, para guru kami cukup banyak menemui kendala; alasan utamanya lebih karena sebagian besar siswa tidak terbiasa dengan metode seperti ini dalam keseharian mereka. Banyak dari mereka adalah passive learners, yang hanya menerima banyak informasi dari pengajar tanpa banyak kesempatan untuk menyampaikan pendapat. Bahkan terkadang untuk pertanyaan sederhana seperti “Mengapa kamu lebih suka A dibanding B?” bagi sebagian anak membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menjawab.    

Menurut jurnal dari World Economic Forum berjudul The Future of Jobs Report 2018 disebutkan bahwa pada kurang lebih 4 tahun mendatang yaitu pada 2022, dunia kerja membutuhkan banyak ketrampilan yang berbeda dengan saat ini. 

 https://www.weforum.org/reports/the-future-of-jobs-report-2018

Dalam jurnal tersebut ditulis bahwa ketrampilan “active learning and learning strategies” akan banyak dibutuhkan disamping “reasoning, problem solving and ideation“. Sedangkan ketrampilan yang sudah tidak lagi dibutuhkan termasuk “memory, visual, auditory and spatial abilities” (kemampuan mengingat, visual, auditory dan menghubungkan satu objek dengan yang lain).  

Padahal masih banyak anak anak generasi saat ini yang belum dipersiapkan untuk itu. Mereka jarang dilatih untuk berpikir kritis dengan memberikan pendapat, mengkreasi ide, mencari alternatif solusi, melihat dari sudut pandang berbeda dan berpikir diluar kotak. Masih banyak dari mereka yang mengikuti cara pendidikan lama, yaitu menerima berbagai informasi sebanyak banyaknya, menghapal semua informasi tsb dan dinilai berdasarkan banyaknya informasi yang mampu mereka ingat.       

Sampai dengan saat ini, saya masih menjadikan rumah belajar think-e sebuah media untuk turut mengenalkan metode belajar yang anak anak butuhkan untuk masa depan mereka. Seperti yang tersirat dalam jurnal diatas bahwa kemampuan bahasa Inggris nantinya juga akan menjadi tidak berguna bila yang bersangkutan tidak dapat menggunakan bahasa tsb untuk menyampaikan alasan, ide, solusi, dan inisiatif atas bidang yang digeluti; untuk itu siswa siswi di think-e belajar bahasa Inggris untuk kemampuan survival mereka di masa mendatang, bukan untuk mengejar nilai akademis di sekolah atau bahkan untuk sebuah piala lomba bahasa Inggris.     

Ketrampilan active learning (belajar aktif) seperti yang disebutkan dalam jurnal adalah sebuah ketrampilan yang perlu dilatih sejak dini. Cara berpikir kritis tentunya tidak dapat tiba tiba muncul bila tidak pernah dilatih. Karena itu, siswa siswi kecil kami tidak diajarkan bahwa “lion sama dengan singa”. Tidak hanya diajarkan bahwa “lion has 4 legs and lives in the jungle or zoo“. Tapi kami mencoba menanyakan pengalaman siswa “Where do you see lion?” dan kemudian mengeksplorasi pendapatnya “Is it possible to keep a lion in a house? Why/ Why not?“. Kami mengajukan pertanyaan pertanyaan yang memancing siswa untuk berpikir dan kemudian memberikan pendapat karena kami merasa hal tersebut jauh lebih penting daripada sekedar informasi yang saat ini mereka bisa dapatkan dengan mudah dari internet.    

Saya percaya anak anak hidup di saat ini dan untuk masa depan. Dan  selama saya masih bersentuhan dengan pendidikan dan anak anak, saya ingin memastikan bahwa setidaknya siswa siswi kami tidak dididik menggunakan pola pendidikan masa lalu. Pun bila mereka masih dididik dengan pola pendidikan masa lalu, saya tetap akan mengenalkan pola pendidikan saat ini untuk masa depan, meskipun itu tidak mudah dan tidak “komersil” tentunya… 

Salam pendidikan.