Kenan, Aku dan Tuhan

Kenan, anakku, sekarang sudah remaja.. 13 tahun lebih umurnya, dan sekarang kami sudah jarang diskusi dan ngobrol ngalor ngidul kayak dulu. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di kamarnya, di depan laptop, teriak-teriak di game, dan pilih-pilih destinasi kalau diajak papi maminya keluar rumah. Jadi, ketika sekali waktu kami punya kesempatan berdiskusi (aku bilang diskusi, karena topiknya agak2 ‘berat’ hehe), banyak hal yang bikin aku terkaget-kaget. Apakah ini hanya anakku, atau memang pemikiran remaja sekarang seperti ini yah..
Cerita berikut adalah salah satu contoh pemikiran dia dari hasil diskusi kami yang terjadi di sepanjang perjalanan bermobil bertiga menuju rumah.

Some people who believe in certain religion, don’t want to believe in Science. And vice versa. Contohnya about the Creation. (p.s, sekarang dia kalau ngomong makin campur-campur antara bahasa Indo dan English). “Science people” believe in Big Bang, while “Religious People” believe in 7 days of Creation by God‘s words. Menurut aku, mengapa itu harus dipertentangkan? Toh bagaimana terjadinya bumi ini tidak ada yang bisa membuktikan kebenarannya? Kecuali memang itu facts yang bisa kita buktikan sama-sama, seperti that fact bahwa Bumi itu bulat. Kan kita bisa sama-sama membuktikan dengan cara ke luar angkasa or however caranya sekarang yang bisa melihat bahwa bentuk bumi itu emang beneran bulat. Tapi terjadinya bumi, itu tidak ada yang benar-benar tahu kan? Jadi mengapa kita harus memaksakan satu pandangan, what’s the end goal? Moreover, in my opinion, some people have religion itu didasari karena rasa takut, ya ga sih? Fear of life, fear of death. Jadi mereka butuh sesuatu sebagai tempat berharap, tempat bergantung karena many things in life are uncertain.

Whoa.. sontak aku speechless. Apa saja yang sudah terjadi di dalam otaknya selama ini?
Tapi apa yang dia bilang, khususnya tentang alasan seseorang beragama, jadi perenungan pribadi buatku. Aku dibawa untuk melihat ulang ke dalam diri. Menilik kembali “alasanku beragama” aka hubungan dengan Tuhan. Apa benar aku selama ini beragama, beriman, menjalin hubungan dengan Tuhan karena didasari rasa takut? Apa yang lebih aku takuti, hidup atau mati? Atau malah keduanya?
Memang rasanya selama ini aku berdoa, baca Kitab Suci, dan beribadah karena aku takut hal-hal buruk menimpa aku. Aku takut dibilang dosa dan nanti masuk neraka.
Bahkan dulu aku juga takut bersentuhan dengan hal-hal spiritual di luar yang aku yakini karena aku takut kalau sampai kemasukan roh jahat, dibilang murtad dan Tuhan tidak mau lagi menyebut aku anakNya. Karena, bila sampai Tuhan meninggalkan aku, kepada siapa aku akan berpaling?
Meski diam-diam dalam hati kecil, aku sering bertanya-tanya, segampang itukah Tuhan sakit hati dan membuang umatNya? Apakah Tuhan menerapkan semacam Helicopter Parenting, dimana anak-anakNya harus hidup dalam gelembung kaca dan tidak boleh bersentuhan dengan dunia di luar gelembung?
Lalu pikiran lain pun datang di kepalaku: atau jangan-jangan selama ini aku melihat Tuhan lebih sebagai gambaran dari sebuah “power” (yang somehow memposisikan aku sebagai pihak powerless) yang hadir selama aku bertumbuh? Yang sering menakut-nakuti, yang suka mengancam, dan yang haus untuk selalu disenangkan hatinya?

Kata-kata Kenan di atas seperti memaksa aku untuk mempertanyakan : Siapa Tuhan itu buatmu? Apakah Tuhan itu gambaran kepastian dalam pikiranmu sendiri yang penuh ketakutan?
Apakah Tuhan seperti yang digambarkan oleh karakter di film-film horor yang sering bawa-bawa salib untuk mengusir vampir? Jadi kalau punya hubungan dengan Tuhan, nasibku akan baik-baik saja dan segala yang buruk akan terusir, seperti vampir itu?
Kuakui, seperti kata Kenan, I need something to hope and hold onto. Di bumi yang “terapung-apung” di angkasa tanpa batas, aku merasa hidup di dunia ini memang serba “terapung”, kadang ke sini, kadang ke sana.. Jadi, aku butuh Tuhan yang aku percayai sebagai Sang Pembuat Bumi dan pencipta diriku, untuk membuat aku sedikit lebih ‘grounded‘ dan mengenal lebih dalam tentang diriku. Sebab siapa yang lebih mengenal diriku selain dari pada Penciptaku? Dan siapa yang lebih tahu bagaimana hidup di atas bumi selain Dia yang membuat bumi?

Namun sepertinya aku butuh relasi yang bukan didasari oleh ketakutan, takut akan hidup, mati bahkan hidup setelah mati. Bukan pula relasi yang didasari oleh kerakusan, hidup serba kelimpahan dan tidak pernah gagal atau sakit. Aku butuh relasi yang lebih damai, yang membuat aku lebih tenang hidup di bumi terapung ini, dan dalam tubuh yang fana ini.
Hmm.. tapi kurasa untuk inipun, aku perlu terus memastikan kembali berulang-ulang ya..

Anyway, terimakasih anakku. Seperti sebelum-sebelumnya, buatku kamu tetaplah malaikat yang mengirimkan banyak pesan untuk aku terus belajar dan bertumbuh di dunia ini. ILY, eternity.