Sekolah untuk masa depan atau masa lalu?

 

Saya adalah produk sekolah jaman dulu… dulu, jauh sebelum reformasi, jauh sebelum krisis moneter. Dulu, ketika satu kelas masih berisi 40 anak, duduk menghadap satu tembok yang terpasang papan tulis besar, dan guru duduk di sudut depan dengan meja yang lebih tinggi daripada meja murid muridnya. Dulu, dimana ketika masa ulangan tiba, saya harus mencari ruangan sepi di rumah untuk bisa menghapal berlembar lembar halaman buku dengan cara membacanya dengan bersuara, setidaknya saya harus mendengar suara saya sendiri untuk mengingat. Dulu, ketika murid terbaik pastilah murid yang tidak pernah ribut di kelas, tidak pernah ngantuk, selalu mendengarkan penjelasan guru dan mengerjakan soal sesuai cara yang sudah dijelaskan. Dulu, ketika pembagian hasil ulangan adalah salah satu momen yang paling menentukan mood hari itu. Dulu, yaitu ketika arti pendidikan di sekolah adalah satu arah, atas ke bawah. Guru ke murid. Murid tidak berdaya bila guru sudah bersabda.

Sekarang, kurang lebih tiga dekade kemudian, giliran anak saya yang sekolah di sekolah dasar. Saya mengamati banyak perubahan di pendidikan sekolah jaman sekarang. Yang paling kentara adalah banyaknya kekerasan terjadi di sekolah. Sekarang bukan hanya guru ke murid, tapi juga murid ke guru. Orang tua sekarang juga lebih banyak terlibat di sekolah, tapi bukan keterlibatan dalam mengajarkan sesuatu bersama sama, tapi lebih ke bentuk protes ke guru, kepala sekolah dan sekolah. Baik protes soal nilai, soal teguran guru ke murid, soal fasilitas sekolah, soal kurangnya keamanan bahkan beberapa orang tua sekarang berani melawan otoritas sekolah dengan memukul guru atau kepala sekolah.

Tapi bagaimana di dalam ruang kelas sendiri? Melihat pengalaman sekolah anak saya, juga banyak murid saya yang lain di beberapa sekolah berbeda, saya mendapati hal yang nyaris sama dengan tiga dekade lalu. Beberapa kelas masih memuat lebih dari 30 anak yang ditangani satu guru, siswa masih duduk menghadap satu center yang sama (beberapa sekolah bagus sekarang sudah tidak memakai papan tulis berkapur, tapi whiteboard), siswa juga masih dituntut untuk duduk tenang, tidak berisik, tidak mengantuk selama pelajaran dan mendengarkan penjelasan guru serta mengerjakan soal sesuai cara guru.  Mereka juga masih melalui masa masa ulangan yang menuntut mereka untuk menghapalkan beberapa lembar halaman dari satu buku atau lebih. Mood mereka juga masih sering ditentukan oleh nilai yang dibagi hari itu. Dan intinya, arti pendidikan di sekolah juga masih sama, yaitu satu arah. Guru ke murid.

Ketika orang menggembar gemborkan perubahan dunia, bahwa sekarang orang dituntut lebih kreatif dan inovatif agar bisa bersaing di dunia kerja dan  orang percaya bahwa banyak pekerjaan yang dahulu (bahkan saat ini) sangat diminati akan menghilang di masa depan; pun orang percaya bahwa komputer, digitalisasi sampai kecerdasan buatan sudah mulai menguasai dunia; orang juga masih percaya bahwa pendidikan sekolah yang tidak pernah berubah sejak tiga dekade lalu akan baik baik saja dan anak anak tetap akan berhasil di dunia yang sudah jauh berubah sejak tiga dekade lalu.

Di tempat belajar bahasa Inggris untuk anak yang saya dirikan sejak 18 tahun lalu, saya mencoba menerapkan sesuatu yang berbeda dengan cara belajar kebanyakan. Rumah belajar kami bukanlah sekolah dan jumlah pertemuan dengan siswa rata rata hanya dua kali seminggu dengan durasi 1 jam setiap pertemuan. Dengan media bahasa Inggris, kami ingin mencoba mendengar anak anak berpendapat terhadap suatu topik, menceritakan pengalamannya, memahami sesuatu diluar apa yang tertulis, juga mempertanyakan hal hal yang diterimanya. Saya mencoba setting kelas tanpa meja dan kursi yang mengharuskan seorang guru dan siswa yang tidak lebih dari 10 orang jumlahnya duduk sejajar. Di dalam kelas kami menerapkan cara belajar dua arah dimana guru selalu melakukan sesi brainstorming sebelum mengenalkan suatu topik. Ternyata kami mendapati bahwa untuk banyak anak yang baru masuk dan baru mengenal model belajar seperti ini, pertanyaan pertanyaan mengenai pendapat pribadi dijawab dengan “tidak tahu” atau jawaban yang sangat tidak spesifik, seperti:

“Apakah kamu suka ini? Mengapa kamu suka ini dibanding itu?”  : emmmmm…… karena bagus. karena enak.

“Apa yang kamu bisa ceritakan tentang adikmu?” : emmmmm… dia kecil.. dia nakal.

“Bagaimana liburanmu?” emmm.. baik. “Coba ceritakan tentang spot yang paling menarik yang kamu lihat ketika liburan” emmm… itu bagus.

Jawaban jawaban mengenai pertanyaan seputar pendapat pribadi tidak mudah diungkapkan dan ini saya sadari bukan karena kendala bahasa, karena pada awal mereka masuk kami masih mentolerir penggunaan bahasa Ibu, khususnya dalam mengungkapkan pendapat atau perasaan. Belum lagi bila sudah menyangkut keterampilan Reading/ Listening Comprehension, siswa mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan diluar teks, bahkan untuk siswa siswa “ranking” di sekolah mereka sekalipun. Tantangan lebih besar ditemui ketika Writing skill, dimana mereka diminta menuliskan opini atau membeberkan imajinasi mereka dengan detail. .

Ketika saya bertanya pada mereka mengenai pengalaman belajar mereka di kelas, rata rata mereka bercerita bahwa mereka jarang sekali diberi kesempatan berbicara di kelas dan ketika mereka diminta mengajukan pertanyaan setiap guru selesai menjelaskan, rata rata mereka tidak tahu apa yang mau ditanyakan dan tentu saja mereka tidak boleh bertanya hal lain diluar topik.

Mungkin bagi sebagian orang, tidaklah penting untuk membuat anak anak kritis, mengemukakan pendapat dan mampu menganalisa suatu materi . Tapi buat saya, ini sangat penting. Dulu ketika anak saya kecil, saya tidak terlalu pusing soal sekolah. Saya berpikir bahwa sekolah dimana mana sama saja yang penting exposure yang saya berikan di rumah. Namun ketika anak saya mulai masuk tingkat sekolah dasar, masalah sekolah ini menjadi kegalauan tersendiri buat saya. Waktu yang anak saya habiskan di sekolah sehari hari ditambah dengan beban tugas dan ulangan yang diberikan tidak memberikan ruang yang cukup untuk saya memberikan exposure yang memadai. Belum lagi cara belajar dan budaya di sekolahnya lebih tertanam dalam pemikirannya dibanding dengan cara yang coba saya lakukan di rumah. Sebenarnya yang membuat saya galau dan merasa membutuhkan waktu khusus untuk memberikan exposure lebih ke anak saya adalah karena sistem yang diterapkan di sekolahnya sama persis dengan yang saya terima lebih dari 30 tahun lalu tsb. Bahkan ketika saya bertanya, “mengapa kamu jawab A?” “ya tidak tahu, Bu Guru suruhnya begitu”. “jawaban  B mungkin juga bisa kan ya?” “tadinya aku pikir gitu, tapi waktu aku tulis B, Bu Guru langsung coret” “kamu gak tanya?” “kata Bu Guru, kan di buku sudah ditulis begitu”. Dan dia melanjutkan, “sudahlah mami gak usah tanya tanya, yang penting nilaiku bagus. Aku malu nanti kalau dibacain di kelas dan nilaiku jelek”  Disitu saya merasa sedih, kecewa dan galau tentunya. Terlebih lagi ketika ulangan tiba dan dia diminta menghapalkan sekumpulan informasi sebagai bahan ulangan. Baiklah, ketika jaman saya dulu, Google belum lahir. Informasi sangat terbatas dan tidak selalu berubah. Jadi, memang benar bahwa waktu itu kami harus menghapalkan informasi, supaya kami punya pengetahuan. Namun jaman sekarang? Informasi datang seperti arus sungai, begitu cepat berubah pun kita dapat mengakses sumber sumber informasi dari berbagai jejaring laba laba itu. Saya justru setuju, bila guru menuntun siswa untuk mengenali sumber informasi yang terpercaya, sahih dan mampu membaca data.

Akhirnya memang saya putuskan untuk mencari sekolah lain untuk anak saya, selain karena kegalauan saya, dia sendiri tidak pernah merasa antusias bersekolah. Setelah saya berkeliling mencari sekolah, akhirnya saya ke menemukan sekolah yang memiliki metode dua arah, memberikan waktu untuk anak berdiskusi, menganalisa dan berpraktek. Mereka juga memampukan anak bertanya serta menuangkan sejumlah imajinasinya ke dalam tulisan. Dan anak saya seperti menemukan habitatnya, sekolah adalah tempat dia mencari tahu dan bereksperimen. Memang lalu kami harus merogoh kocek lebih dalam untuk ini, tapi bagaimana lagi, ini adalah sebuah investasi jangka panjang. Karena menurut kami, bersekolah tidak hanya mencari ilmu, tapi membentuk cara pandang, budaya, perilaku dan cara memaknai sesuatu. Saya sungguh rindu bahwa sekolah dengan model seperti ini tidak harus mahal dan bisa dinikmati semua anak, karena inti sebenarnya dari sekolah bukan pada kurikulum tapi pada cara penyampaiannya.

Salah satu ucapan Nelson Mandela, Bapak Perdamaian Dunia, tentang pendidikan yang cukup tersohor adalah “education is the most powerful weapon to change the world“. Saya percaya kata kata ini. Ketika dalam sebuah perhelatan olah raga yang diikuti oleh atlet Indonesia dan atlet luar negeri, kekalahan atlet sangat menunjukkan budaya pendidikan suatu bangsa. Dalam sebuah edisi majalah National Geographic disebutkan bahwa atlet atlet negara negara besar sudah menggunakan kecerdasan buatan beserta robot robotnya untuk menganalisa kecepatan, ketepatan, power dan stamina atlet. Begitu terjadi kekalahan, mereka segera melakukan evaluasi dengan berbagai simulasi. Sebaliknya ketika atlet kita kalah, hujatan, cacian dan makian oleh para pengguna sosial media menutupi segalanya. Demikian pula ketika bencana dan hal lain yang terjadi di negeri ini, terlalu sedikit orang yang fokus pada solusi dan terlalu banyak orang yang berkomentar di sosial media yang platformnya tidak satupun diciptakan oleh anak negeri.

Sekolah, menurut saya, harus berubah. 30 tahun sudah berlalu, cara belajar harus disesuaikan dengan tuntutan dunia yang berubah bila kita tidak mau tetap hidup bagai bangsa barbar di dunia yang sudah maju terlampau jauh.

Sekian.