Never Ending Baby Blues ?

Aku adalah wanita bekerja dan tetap jadi ibu bekerja ketika sudah punya baby. Dulu sewaktu anakku masih bayi, hampir sepanjang hari setiap harinya anakku diasuh oleh seorang pengasuh.  Sampai anakku balita, status ibu bekerja yang dibantu pengasuh dalam mengasuh anak ini terasa begitu membebani. Bagaimana tidak? Banyak orang yang bertanya padaku “kamu gak takut, anakmu nanti jadi anak si mbak?” atau “kamu sudah siap kalau nanti anakmu panggil pengasuhmu mama dan panggil kamu tante?”. Dan ada juga beberapa yang berkomentar agak nyinyir; “dapat anaknya susah kok akhirnya ditinggalin ama orang lain?” atau “kalau aku sih, anak ya harus aku ‘pegang’ sendiri, masak investasi terbesar kita diserahkan ke orang lain?” huhuhu.. aku hanya bisa menangis dalam hati, belum saja anakku besar, kok aku sudah merasakan luar biasa beratnya jadi ibu… huhuhuhu..

Ketika aku meminta nasihat ke suamiku soal berhenti bekerja, suamiku hanya bilang “kamu yakin, kalau mau berhenti bekerja? soal omongan orang tidak usah dipikirkan, masalah anak tidak hanya di tahap ini saja, perjalanan masih panjang.. dan kamu, pekerjaan itu passionmu, mengapa hadirnya anak malah jadi beban? bukankah harusnya kehidupan kita jadi lebih seimbang dengan adanya anak?” lagi lagi aku hanya bisa huhuhuhu… Bersyukur aku punya suami yang super duper sabarrr…

Begitulah setiap hari, aku bekerja pagi setelah menyiapkan kebutuhan harian si kecil dan pulang petang ketika urusannya sudah beres, dan aku tinggal menidurkannya. Kalaupun dia bangun tengah malam untuk pipis atau minum susu, aku yang akan mengurusnya. Aku yakin setiap orang punya pilihan sendiri sendiri dan akupun tidak akan menelantarkan anakku dengan statusku sebagai ibu bekerja, begitu setidaknya yang selalu kucoba tanamkan di pikiranku melawan paradigma yang beredar di sekelilingku. Sampai suatu ketika, anakku yang waktu itu masih balita, mengalami tantrum yang luar biasa. Dia menangis menjerit jerit dan marah marah tanpa jelas penyebabnya. Saat itu aku coba peluk dia, tapi dia meronta ronta, malah kemudian dia minta si mbak. “Mak Yah!! Mak Yah!! ” (demikian dia memanggil pengasuhnya..). Mendengar teriakannya, entah kenapa, membuatku dirasuki perasaan cemburu yang memuncak, Hey kamu anakku !! begitu jerit batinku. Begitu marahnya aku, sampai kurebut anakku dari pelukan Mak Yah nya, dan kusuruh si mbak pulang. Bukannya mereda, anakku malah semakin menjerit jerit di depanku. Sengaja aku bawa dia ke kamar dan kukunci pintunya, berusaha membuatnya tidak punya pilihan selain aku. Setelah beberapa menit, tangisannya tidak mereda, dan dia terus menjerit memanggil manggil Mak Yah. Akhirnya aku menyerah kalah, kutelpon si mbak, memintanya kembali karena aku tidak bisa menenangkan anakku. Mak Yah kembali dengan berlinang air mata, mendekap anakku yang langsung terisak isak di pelukannya dan akupun menangis tersedu sedu, merasa hancur berkeping keping.

Seperti biasa, akupun segera curhat ke suamiku setelah semuanya mereda. Dan seperti biasa pula, dengan nadanya yang tenang aku memang seperti anak kecil yang merajuk minta permen di depannya.. “Kendalikan dirimu, mam. Bersyukur kita kalau si mbak itu sayang sama anak kita. Anak kita bisa dekat dengannya. Bukannya banyak pengasuh di luar sana yang jahat sama momongannya? Bukannya kamu malah bisa tenang meninggalkan anak kita pada orang yang tepat? Ingat ya.. proses membesarkan anak itu tidak hanya saat ini, tapi masih sangattt panjang. Aku pengen kamu bahagia, dan aku tahu kamu bahagia dengan pekerjaanmu. Aku yakin kalau ibu yang bahagia juga akan membesarkan anak yang bahagia. Cinta ibu itu yang harus dipegang. Dan itu bentuknya macam macam, tidak harus dalam bentuk kehadiran kamu 24 jam bersamanya. Kamu ajarkan dia berdoa, kamu bacakan cerita setiap malam, kamu cium dia setiap bertemu, kamu bangun tengah malam untuknya, kamu siapkan makannya.. aku tahu itu juga cinta, dan itu yang paling penting”. Lalu dia menyenandungkan lagu, persis seperti ibu yang bersenandung untuk anaknya… “Kasih ibu kepada beta, tak terkira sepanjang masa.. slalu memberi, tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia… ” dan akupun… berlinang air mata… lagi. Hiks.

Memang benar kata suamiku. Ketika anakku sudah tidak balita lagi, dia mulai mengerti banyak hal, belajar banyak hal, dan punya banyak kesibukan. Dia tahu pekerjaan mami dan papinya, dia banyak tanya dan cerita, dia mulai punya persoalan dengan teman dan sekolahnya dan tentunya semuanya itu membuat dia jadi lebih dekat dengan aku dan suami daripada dengan si mbak. Karena memang kebutuhannya sudah bukan kebutuhan dasar lagi, tapi sudah lebih jauh dari itu…

Sampai kemudian ada hal baru lagi… dan seperti yang sudah sudah, kembali aku mengadu ke suami.. “liat tuh anak kita, diajak pergi nemenin maminya udah gak mau, milih main di rumah temen..uuuhh..”. Dan suamipun hanya tertawa… “mungkin nanti kalau anak kita mau sekolah ke luar negeri atau bahkan mau menikah, sepertinya maminya yang bakal tantrum berkepanjangan nih dan aku mesti siap siap ya…” huhuhuhu… aku iniiii… bener bener ibu yang punya never ending baby blues sepertinya… huhuhuhu..

Tinggalkan komentar